Latar Belakang

Sangat banyak informasi diluar bahwa Asuransi Syariah itu haram, tentunya hal ini banyak membuat para nasabah pada akhirnya menjadi risau. Untuk itu tulisan ini dibuat mudah-mudahan bisa memberikan informasi yang berimbang tentang pendapat-pendapat yang beredar.

Ada dua pendapat tentang Asuransi Syariah, ada yang menghalalkan ini dapat dibuktikan dengan adanya asuransi syariah itu sendiri dan tidak sedikit pula yang mengharamkan. Dalam hukum Muamalah sah sah aja terjadi perbedaan, tapi acuannya adalah selama tidak dilarang berarti sebuah produk tidaklah HARAM.

Pendapat Yang Mengharamkan Asuransi Syariah 

Banyak artikel di internet yang isinya mengharamkan Asuransi Syariah. Berikut tautan dari beberapa artikel yang isinya mengharamkan.

 

Dari artikel-artikel tersebut, dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada empat hal yang menjadikan Asuransi Syariah Haram.

  1. Dalil Hadis Asy’ariyyin yang digunakan sebagai dasar asuransi tidak tepat

Hadis Asy’ariyyin yang dimaksud adalah : Nabi bersabda,” Kaum Asy’ariyin jika mereka kehabisan bekal dalam peperangan atau jika makanan keluarga mereka di Madinah menipis, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, mereka itu bagian dariku dan aku pun bagian dari mereka.” (HR Muttafaq ‘alaih).

Disini para pengkritik Asuransi Syariah mengatakan bahwa bahaya terlebih dahulu datang dulu, baru dilakukan proses ta’awun (tolong-menolong). Sedangkan dalam asuransi Syariah, ta’awun dilakukan lebih dahulu padahal bahaya belum terjadi sama sekali.

Jawaban :

  • Hadis Asy’ariyin bukanlah dalil yang digunakan dalam asuransi Syariah, dan dalam fatwa MUI tentang asuransi Syariah, hadist ini tidak dicantumkan sebagai dalil. Silahkan cek di SINI.
  • Bisa saja ada ulama yang menjadikan Hadist ini sebagai dalil Asuransi Syariah, tetapi pasti ini bukan sebagai dalil utama.
  • Seandainya Hadist ini bercerita tentang kegiatan tolong menolong setelah terjadi musibah, dan tolong menolong ini tentunya sangat baik, bahkan dipuji oleh Rasulullah. Tetapi apakah Hadist ini melarang tolong menolong sebelum terjadi musibah ? Seperti kita ketahui dalam Hukum Muammalah, Boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya.

 

  1. Akad dalam Asuransi Syariah tidak sesuai dengan akad Dhaman (pertanggungan) dalam Islam. Mestinya ada tiga pihak, tetapi dalam Asuransi Syariah hanya ada dua pihak.

Pada hadist dari Abu Qatadah r,a, diceritakan bahwa kepada Nabi Saw. pernah didatangkan sesosok jenazah agar beliau menyalatkannya. Lalu beliau bertanya, “Apakah ia punya utang?” Para sahabat berkata, “Benar, dua dinar.” Beliau bersabda, “Salatkan teman kalian!” Kemudian Abu Qatadah berkata, “Keduanya (dua dinar itu) menjadi kewajibanku, wahai Rasulullah.” Nabi Saw. pun lalu menyalatkannya. (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’I, dan al-Hakim).

Dalam hadis tersebut ada tiga pihak. Pertama, pihak yang menjamin/ penanggung (dhamin) adalah Abu Qatadah r.a. Kedua, pihak yang dijamin / tertanggung (madhmun ‘anhu) adalah jenazah. Ketiga, pihak yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu) adalah orang yang memberi utang kepada jenazah.

Sementara dalam asuransi syariah, hanya ada dua pihak, yaitu: Pertama, pihak yang menjamin/ penanggung (dhamin), yaitu para peserta semua; kedua, pihak yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu) yaitu para peserta semua. Jadi dalam asuransi syariah tidak terdapat pihak ketiga, yaitu pihak yang dijamin / tertanggung (madhmun ‘anhu).

Jawaban

Dalam Hadist di atas memang akad yang dicontohkan terdiri dari 3 pihak (Abu Qatadah, Jenazah dan pemberi utang). Tetapi apakah hadist tersebut melarang akad Dhaman dengan dua pihak? Coba lihat Hadist Asy’ariyyin di atas, justru terjadi akad Dhaman dengan dua pihak. Dalam konteks tsb terjadi tolong-menolong atau saling menanggung di antara dua pihak, yaitu pihak penanggung (dhamin) ialah kaum Asy’ariyyin dan pihak yang mendapat tanggungan (madhmun lahu) ialah kaum Asy’ariyyin juga. Di sini tidak terdapat pihak tertanggung (madhmun ‘anhu). Kita tahu bahwa tradisi kaum Asy’ariyyin ini mendapat pujian dari Nabi Saw.

 

  1. Ada multiakad atau akad ganda, yaitu penggabungan akad hibah dan akad tijarah (komersial), padahal Nabi melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan

 

Akad dalam satu akad dilarang oleh Nabi, melalui beberapa Hadist, antara lain :

Pertama, hadis riwayat Ahmad dari Abu Hurairah: “Rasulullah Saw. melarang jual beli dan pinjaman.

Kedua, hadis riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah: “Rasulullah Saw. melarang dua jual beli dalam satu jual beli (bay’atain fi bay’atin)”.

Ketiga, hadis riwayat Ahmad dari Ibnu Mas’ud: “Nabi Saw. melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin).”

Keempat, hadis riwayat Thabrani dari Hakim Ibnu Hizam: “Nabi saw. telah melarang aku dari empat macam jual-beli yaitu: (1) menggabungkan salaf (jual-beli salam/pesan) dan jual-beli; (2) dua syarat dalam satu jual-beli; (3) menjual apa yang tidak ada pada dirimu; (4) mengambil laba dari apa yang tak kamu jamin [kerugiannya].”

Jawaban :

Akad ganda yang dilarang itu adalah akad terhadap objek yang sama. Pelarangan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya ketidak jelasan pada akad, yang bisa membingungkan dan merugikan salah satu pihak. Sebagai contoh : Jika saya menyerahkan uang kepada seseorang, maka harus jelas uang itu sebagai pinjaman atau pemberian, tidak bisa kita rubah-rubah ditengah jalan.

Kalau sebuah objek berbeda meskipun dalam ruang lingkup yang sama tidaklah bisa dikatakan bahwa itu adalah multi akad. Karena tiap objek memerlukan akad sendiri sendiri. Jadi penggabungan akad-akad ini tidak serta merta disamakan dengan akad ganda yang dilarang oleh Nabi.

Akad-akad dalam Asuransi Syariah bukanlah sebuah akad ganda, karena setiap akad berlaku untuk objek yang berbeda dan atau pihak yang berbeda. Dalam asuransi Syariah ada dua akad, yaitu akad Tabarru (hibah) dan akd tijarah (komersial). Kedua akad ini objeknya berbeda, dan pihak-pihak yang terlibat pun berbeda.

  • Objek akad tabarruadalah pengumpulan dana tabarru (hibah) oleh para peserta. Pihak yang terlibat adalah peserta sebagai individu dengan peserta sebagai kumpulan. Peserta sebagai individu menghibahkan sejumlah dana kepada peserta sebagai kumpulan, yang akan digunakan untuk menolong para peserta yang mengalami suatu musibah.
  • Sedangkan objek akad tijarah adalah pengelolaan dana tabarru oleh perusahaan asuransi. Pihak yang terlibat adalah peserta (sebagai individu maupun kumpulan) dengan perusahaan asuransi. Akad tijarahyang digunakan adalah akad wakalah bil ujrah (perwakilan, penyerahan wewenang dengan upah).

Pada produk asuransi yang mengandung nilai tunai (saving product), untuk unsur savingnya diberlakukan juga akad tijarah. Pihak yang terlibat adalah peserta sebagai individu dengan perusahaan asuransi. Akad tijarah pada unsur saving dapat menggunakan salah satu dari tiga bentuk, yaitu akad mudharabah (bagi hasil), akad mudharabah-musytarakah (jika perusahaan asuransi sebagai pengelola ikut menyertakan modalnya), atau akad wakalah bil ujrah (perwakilan, penyerahan wewenang dengan upah).

Dalam konteks yang lebih luas, adanya beberapa akad dalam sebuah produk keuangan ataupun aktivitas ekonomi lain sesungguhnya tidak bisa dihindari. Contoh: pembelian rumah dengan cara kredit setidaknya melibatkan tiga pihak: pembeli, penjual, dan lembaga pembiayaan, di mana masing-masing memerlukan akad tersendiri yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Dalam sebuah kerja sama bisnis yang melibatkan banyak orang, di mana tiap-tiap pihak menyumbangkan kontribusi yang berbeda baik jenis maupun jumlahnya, tidak mungkin bisa dirangkum dalam sebuah akad saja.

Akad ganda itu sendiri ada beberapa macam, tidak bisa seluruhnya dilarang. Lebih lanjut sila menyimak antara lain di sini: http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/multi-akad-al-uqud-al-murakkabahhybrid-contracts-dalam-transaksi-syariah-kontemporer-pada-lembaga-keuangan-syariah-di-indonesia-2/. Menurut saya, tidak mungkin Nabi melarang sesuatu yang secara alamiah tidak bisa dihindarkan.

 

  1. Akad Hibah (Tabarru) dalam asuransi Syariah tidak sesuai dengan pengertian hibah, yaitu pemberian tanpa kompensasi.

Dalam asuransi syariah, peserta memberikan dana hibah tapi sekaligus mengharap kompensasi. Ini dianggap sama dengan menarik kembali hibah yang diberikan, yang hukumnya haram. Sabda Nabi Saw: “Orang yang menarik kembali hibahnya, sama dengan anjing yang menjilat kembali muntahannya.” (HR Bukhari dan Muslim). Juga sabda Nabi Saw: “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya.” (HR Abu Dawud).

 

Jawaban :

Seperti diketahui, pada asuransi syariah, akad hibah terjadi pada saat seorang peserta memberikan sejumlah dana untuk dikumpulkan dalam rekening dana tabarru. Dengan menghibahkan dana tabarru, peserta tersebut berniat untuk menolong para peserta lain, dan pada saat yang sama juga berharap akan mendapat pertolongan apabila dirinya yang mengalami musibah. Apakah hal ini diperbolehkan?

Tentang memberi dengan mengharapkan suatu imbalan, ini termasuk perbuatan hati sehingga berada di luar jangkauan hukum fikih. Paling banter hukumnya adalah makruh dan makruh bukanlah dosa. Bahkan dalam satu hadis dinyatakan, niat maksiat pun kalau tidak jadi dilaksanakan akan dihitung satu kebaikan (HR Bukhari-Muslim).

Tentang penarikan kembali dana hibah, ini jelas haram dan dosa bagi siapa pun yang melakukannya, serta pantas dibenci oleh orang yang tadinya menerima hibah.

Tapi yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah betul dalam asuransi syariah ada aktivitas penarikan dana hibah (tabarru) oleh peserta? Saat kapan, dalam kondisi apa, dan apakah hal itu dimungkinkan dalam aturan asuransi syariah sendiri? Hal ini harus betul-betul diperhatikan, supaya kita tidak sembarangan mengharamkan sesuatu.

Dalam asuransi Syariah penarikan kembali dana hibah atau tabarru oleh peserta sama sekali tidak dimungkinkan. Sekali dana hibah peserta telah masuk ke dalam rekening tabarru, dana tersebut tidak dapat ditarik kembali, kecuali dalam masa amat singkat yang disebut freelook period (masa peninjauan polis, biasanya 7-14 hari dari tanggal polis diterima peserta). Jika peserta tidak setuju dengan ketentuan-ketentuan polis, dalam masa freelook, ia dapat mengajukan pembatalan polis dan premi (termasuk tabarru) yang telah disetorkan akan dikembalikan. Jika masa freelook telah terlewati, ia tidak akan bisa menarik kembali hibahnya walaupun di tengah jalan ia membatalkan kepesertaan.

Bagaimana jika peserta mengalami suatu musibah dan mendapatkan bantuan sejumlah uang yang diambil dari dana tabarru, apakah hal itu bisa dikatakan sebagai penarikan kembali dana hibah? Ini salah satu yang dipersoalkan oleh kritikus asuransi syariah dan perlu dijawab dengan teliti.

Contoh: Seorang peserta asuransi kesehatan membayarkan tabarru 2 juta setahun. Suatu ketika dia dirawat di rumah sakit dan mendapat penggantian biaya pengobatan sebesar 10 juta. Pertanyaannya, ketika peserta ini mendapatkan bantuan 10 juta, apakah bisa dikatakan dia telah menarik kembali dana hibahnya yang 2 juta?

Ketika peserta tsb mendapatkan bantuan 10 juta dari rekening dana tabarru, di situ tidak dirinci misalnya 2 juta berupa pengembalian dana hibah, 8 juta berupa bantuan dari para peserta lain. Uang 10 juta tersebut adalah murni merupakan manfaat yang berhak dia terima sebagai anggota komunitas asuransi syariah sesuai manfaat asuransi yang diambilnya.

Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan: Apakah boleh seorang penyumbang mendapatkan manfaat dari sumbangannya?

Dalam banyak kasus hal ini tidak bisa dihindarkan. Contoh: jika kita telah menyumbang sejumlah uang untuk masjid, bolehkah kita menarik kembali sumbangan kita dari masjid tersebut? Tentunya tidak boleh, bisa-bisa jadi bahan gunjingan orang sekampung. Tapi bolehkah kita mendapatkan manfaat dari masjid tersebut, seperti dalam bentuk air wudhu atau tempat shalat? Saya belum pernah mendengar ada yang melarang hal ini.

Contoh lain: Jika kita mewakafkan sebidang tanah untuk pemakaman umum, bolehkah kita atau ahli waris kita mengambil alih tanah tersebut? Tentunya tidak boleh. Tapi bolehkah kita atau anggota keluarga kita ikut dimakamkan di situ? Boleh saja.

Jadi, harus dibedakan antara menarik kembali dana hibah (yang dilarang) dengan mendapatkan manfaat dari hibah tersebut (yang dibolehkan). Ketika seorang peserta asuransi syariah mendapatkan dana klaim karena dia mengalami suatu musibah yang ditanggung, saat itu dia sedang menerima manfaat dari dana hibahnya.

Titik krusial dari kritik keempat ini terletak pada satu aturan mengenai pembagian surplus underwriting. Sederhananya, surplus underwriting adalah selisih antara dana tabarru yang terkumpul dikurangi dana tabarru yang terpakai untuk membayar klaim.

Tentang surplus underwriting ini, fatwa DSN-MUI No 53 Tahun 2006 menawarkan tiga alternatif: 1) Seluruhnya dikembalikan ke rekening dana tabarru sebagai dana cadangan klaim tahun selanjutnya. 2) Dibagikan sebagian kepada para peserta yang memenuhi syarat (biasanya jika tidak ada klaim di tahun tersebut), dan sebagian lagi kepada dana tabarru sebagai cadangan. 3) Dibagikan sebagian kepada para peserta yang memenuhi syarat, sebagian kepada dana tabarru sebagai dana cadangan, dan sebagian kepada perusahaan asuransi sebagai keuntungan.

Mudah-mudahan artikel ini bisa memberi manfaat.

 

Hubungi saya untuk konsultasi GRATIS.

Hikmat Ismiandito (Financial Wealth Director)

HP/WA: 08161963144 | Email: saya@hikmatismiandito.com | Tinggal di Tangerang Selatan

 

×

Powered by Milkyway Network

× Perlu bantuan?